PERTEMUAN KE 7
Mengingat :
Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan
persetujuan bersama antara
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan
miliknya;
c. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang
berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan tenaga kerja
adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan
dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan
adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
berbentuk angka yang telah
diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai
dan makna tertentu mengenai
ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah
keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap,
dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang
dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah
kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian
dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di
lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
bawah bimbingan dan
pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan
tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja,
sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh
tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing
adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat
syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat
buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak
dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama
bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal
yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan
serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi
yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama
tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan
adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat
kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama
adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat
kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat
buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah
tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau
oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan
atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan
(lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya
atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang
yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu
antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah
waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu
selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan
pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan
yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau
tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang
aman dan sehat.
32. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan
perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
LANDASAN,
ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan :
a.
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.
mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian
Kesatu Perlindungan
Paragraf
1
Penyandang
Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang
mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Paragraf
2
Anak
Pasal 68
Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang
berumur antara 13 (tiga
belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan
sosial.
(2) Pengusaha yang
mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang
tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara
pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3
(tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari
dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan
kerja;
f. adanya hubungan kerja yang
jelas; dan
g. menerima upah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yang bekerja pada usaha
keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan
pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau
pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang
jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam
melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan
pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang
mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan
langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3
(tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan
kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak
yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal
anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak
dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang
mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam
bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang
memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi
pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang
memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan
minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan
yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam
ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban
melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf
3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan
yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya
bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan
minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan
keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib
menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf
4
Waktu
Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib
melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu)
hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau peker-jaan
tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu
kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
5
Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan
kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi
keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan
upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi
dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai
penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengupahan.
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan
yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja
karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja
karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan
hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara
pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat
diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala
pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran
pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan
pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas:
a. upah minimum berdasarkan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta
pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang
membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang
tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 dapat
dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan
yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun
struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan
peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan
produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai
struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan
Menteri.
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan
keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas
kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis
dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di
perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha,
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan
hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan
kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan
hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan
hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas
lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial
dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat
buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama
bipartit;
d. embaga kerja sama
tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat
Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh
berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam melaksanakan
fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh
ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan
keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara
pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dalam ang-garan
dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
Lembaga
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal 136
(1)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan
pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam
hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam
ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undangundang.
Paragraf
2
Mogok
Kerja
Pasal 137
Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan
secara
sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan
tidak melanggar hukum.
(2)
Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat
memenuhi
atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya
membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.